Da’i atau orang yang berdakwah sungguh telah memegang amanat mulia. Bahkan seorang da’i yang berdakwah dengan ikhlas, sesuai jalan yang dituntunkan syari’at, bukan cari tenar, dialah yang memiliki ‘ahsanu qoulan’ sebagaimana yang akan kita bahas kali ini.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)
Yang Memiliki Perkataan Terbaik, Siapa Mereka?
Ibnu Katsir berkata, “Orang yang paling baik perkataannya adalah yang mengajak hamba Allah ke jalan-Nya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12: 240)
Al Alusi berkata, “Yang dimaksud ayat tersebut adalah orang yang berdakwah untuk mentauhidkan Allah dan taat kepada-Nya. Ayat ini mencakup setiap orang yang mengajak ke jalan Allah (termasuk da’i dan muadzin). Demikian pendapat Al Hasan Al Bashri, Maqotil dan majoriti ulama.” (Ruhul Ma’ani, 18: 198 – Asy Syamilah)
Asy Syaukani menyebutkan, “Yang dimaksud dalam ayat di atas adalah orang yang berdakwah untuk mentauhidkan Allah dan taat kepada-Nya. Kata Al Hasan Al Bashri, “Dia adalah mukmin yang Allah menerima seruannya dan ia pun menyeru yang lain untuk taat kepada Allah.” (Fathul Qodir, 6: 354 – Asy Syamilah)
Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa para ulama menafsirkan berbeda mengenai maksud orang yang memiliki perkataan yang baik tersebut. Ada yang mengatakan mereka adalah muadzin. Ada yang mengatakan mereka adalah para da’i yang mendakwahi syahadat ‘laa ilaha illallah’ (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Pendapat kedua ini menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, As Sudi, dan Ibnu Zaid. Sedangkan pendapat yang lain seperti dari Al Hasan Al Bashri, yang dimaksud adalah adalah mukmin yang Allah menerima dakwah-Nya karena ia telah menempuh jalan Allah, lalu ia pun mengajak yang lain pada jalan tersebut. (Lihat Zaadul Masiir, 7: 256-257)
Kesimpulannya, ayat tersebut mencakup umum, siapa saja yang menyeru ke jalan Allah, termasuk seorang da’i dan muadzin.
Dakwah yang Diseru
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan,
“Ayat ini bermakna: tidak ada yang memiliki ucapan dan jalan yang lebih baik daripada seorang yang berdakwah ilallah”.
Yang termasuk berdakwah ilallah selanjutnya disebutkan oleh beliau rahimahullah,
Yang dimaksud “مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ”, da’i di jalan Allah adalah da’i yang memberi pengajaran pada orang-orang bodoh, memberi peringatan pada orang yang lalai dan menentang, serta menyanggah ahlu batil. Da’i tersebut juga mengajak dan mendorong untuk beribadah kepada Allah dalam segala macam bentuk peribadahan, serta menyeru untuk memperbagus ibadah sesuai kemampuan. Da’i tersebut juga memperingatkan dengan keras larangan-larangan Allah, menjelaskan jeleknya larangan tersebut dan wajib untuk menjauhinya. Tujuan dakwah yang utama adalah memperbaiki ushulud diin (aqidah), menyanggah hal-hal yang bertentangan dengan ushulud diin tersebut dengan cara yang baik, melarang dari kekufuran dan kesyirikan. Para da’i tersebut gemar pula beramar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi munkar (melarang dari kemungkaran).
Yang termasuk berdakwah di jalan Allah adalah menjelaskan kecintaan Allah pada hamba-Nya dengan menyebut berbagai nikmat-Nya, luasnya karunia dan kesempurnaan rahmat-Nya, juga menjelaskan kesempurnaan sifat Allah dan kemuliaan-Nya.
Yang termasuk berdakwah di jalan Allah adalah menyemangati umat dengan membawakan berbagai kutipan ilmu dan petunjuk dari Al Qur’an dan hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam, hal ini dengan menempuh berbagai cara yang mengantarkan padanya. Termasuk dalam hal ini adalah menjelaskan akhlak yang mulia, berbuat ihsan kepada seluruh makhluk, membalas setiap kejelekan dengan kebaikan, memerintahkan untuk menyambung hubungan dengan kerabat dan berbakti pada orang tua.
Yang termasuk berdakwah di jalan Allah adalah menasihati manusia ketika manusia banyak berkumpul (seperti saat musim haji, pen), ketika banyak yang tertimpa musibah dengan nasehat yang bersesuaian dengan moment tersebut. Yang didakwahi bukanlah hanyalah segelintir orang. Materi yang didakwahi adalah seluruh kebaikan, ditambah dengan memperingatkan dari segala macam kejelekan. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 749)
Jadikan Tauhid Sebagai Prioritas Dakwah
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Syaikh As Sa’di di atas bahwa materi dakwah utama adalah mengenai ushulud diin, yaitu aqidah. Aqidah dan tauhid merupakan landasan utama. Jika pondasi ini rusak, tentulah bangunan amalan yang dibangun di atasnya akan turut rusak. Sehingga dari sini, dakwah inilah yang harus menjadi prioritas. Ini pula yang menjadi materi para Nabi‘alaihimush sholaatu was salaam.
Lihatlah bagaimana dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al A’raaf: 59). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Nuh adalah dakwah tauhid.
Lihat pula bagaimana materi dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam,
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al A’raaf: 65). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Hud adalah dakwah tauhid.
Lihatlah dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam,
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al A’raaf: 73). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Shalih adalah dakwah tauhid.
Lihat pula dakwah Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam,
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al A’raaf: 85). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Syu’aib adalah dakwah tauhid.
Demikian pula Nabi –kholilullah (kekasih Allah)-, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Ibrahim adalah dakwah tauhid.
Bahkan demikianlah dakwah segenap Rasul untuk meluruskan aqidah dan mentauhidkan Allah,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An Nahl: 36). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah seluruh rasul adalah dakwah tauhid.
Berdakwah Sambil Mengamalkan Ilmu
Allah Ta’ala berfirman “وَعَمِلَ صَالِحًا”, yang artinya: “Dan yang beramal sholeh”. Yang dimaksud adalah ketika mereka berdakwah di jalan Allah, mereka juga bersegera beramal mulai dari diri sendiri dengan menjalankan perintah Allah dan beramal sholeh yang diridhoi oleh-Nya.
Yang dikatakan memiliki ‘ahsanu qoulan’ (perkataan yang baik) hanyalah bagi para shiddiqin (orang yang jujur lagi terpercaya), yaitu mereka yang berusaha memperbaiki diri sendiri dan memperbaiki atau menyempurnakan yang lain. Para da’i inilah yang mendapatkan warisan sempurna dari para rasul. Sedangkan yang mengajak kepada kesesatan dan jalan-jalan yang menyimpang, itulah orang disebut ‘asyarrun naas’, manusia yang jelek. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 749)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa da’i ilallah di sini bukanlah orang yang hanya sekedar berdakwah atau mengajak orang lain untuk baik. Namun mereka yang mengajak juga termasuk orang yang mendapat petunjuk, lalu mengajak mengajak yang lain. Ia mengajak kepada kebaikan, namun ia pun mengamalkannya. Begitu pula ia melarang dari suatu kemungkaran, ia pun menjauhinya. Ayat ini adalah pujian bagi setiap orang yang mengajak yang lain pada kebaikan, dan ia sendiri adalah orang yang mendapat petunjuk. Dan tentu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama masuk dalam golongan ini. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12: 240)
Innanii minal Muslimin, Aku termasuk Muslim
Akhir ayat tersebut,
وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri”. Yang dimaksud adalah mereka patuh pada perintah Allah dan menempuh jalan-Nya. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 749)
Inilah tiga syarat yang disebutkan bagi orang yang dikatakan ‘ahsanu qoulan‘, memiliki perkataan yang baik. Dia berdakwahilallah, beramal sholeh serta seorang muslim yang tunduk dan patuh. Yang termasuk dalam ayat ini: yang pertama adalah para rasul, kedua adalah para ulama, ketiga adalah para mujahid, keempat adalah para muadzin, kelima adalah setiap orang yang berdakwah dan memberi petunjuk pada kebaikan. (Lihat Aysarut Tafasir, 3: 480 – Asy Syamilah)
Semoga Allah menjadikan kita merupakan bagian dari orang yang memiliki ‘ahsanu qoulan’, orang yang dapat berdakwah dengan ikhlas dan bukan untuk mencari ketenaran bak ‘selebritis’. Itulah yang disayangkan untuk para da’i di TV saat ini. Sampai-sampai MUI memperingatkan para da’i tersebut karena mereka tidak jadi lagi menjadi panutan dan pembimbing agama. Mereka malah menjadi layaknya artis yang ingin tenar sehingga kadang pun mereka melampaui batas dan malah menjadi “pelawak” yang sering banyak guyon, bukan malah ingin memperbaiki hati dan aqidah audience-nya. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah.
Semoga Allah memberi taufik dan petunjuk.